14/10/15

Tempias


Kala itu rimba raya masih ada. Rimba raya kaya dengan pokok-pokok nan sangat besar dan tinggi menjulang. Binatang liar nan buas seperti harimau, rusa, kijang, babi, beruang, beruk, pelanduk dan ayam hutan hidup bebas.
Tak jauh dari rimba raya tersebut ada sebuah kampung. Kampung itu dipimpin oleh seorang penghulu. Penduduknya sangat menghormati penghulu sebab beliau selalu membantu penduduk yang sedang mengalami masalah. Mereka hidup rukun dan tenteram. Penduduknya bekerja sebagai nelayan menangkap ikan di laut, rawa-rawa, dan sungai. Ada yang berladang menanam ubi, jagung, betik, dan sayur-sayuran di ladang, bertani menanam padi di sawah tadah hujan. Ada juga yang berdagang dan berlayar ke pulau dan negeri seberang laut.
Letak kampung yang dekat laut membuat kampung itu terkenal dan ramai didatangi oleh orang-orang dari pelbagai penjuru negeri. Ada yang hanya singgah untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju negeri seberang laut. Ada pula yang datang untuk berdagang dan memilih untuk bermukim di kampung itu. Semua yang datang dan pergi mesti melapor kepada penghulu. Hal itu bertujuan agar penghulu dapat mengetahui jumlah pertambahan penduduk dan masalah-masalah yang menyertainya.
Sudah beberapa minggu belakangan penduduk risau. Mereka tidak tenteram lagi karena beberapa ekor ternak kambing mereka hilang. Penduduk mencurigai Budin yang mencurinya, namun mereka tidak punya bukti. Oleh karena mereka tak ingin berburuk sangka, mereka segera melaporkan kecurigaan mereka kepada penghulu.

Penghulu dengan bijaksana menyampaikan kepada penduduk agar bersabar dan tidak menuduh seseorang melakukan kejahatan tanpa ada bukti-bukti yang sah. Penghulu mengatakan kepada penduduk agar jangan berburuk sangka. Belum tentu Budin yang mencuri ternak kambing. Beliau akan menyelidiki penyebab hilangnya ternak kambing milik penduduk.
 Penduduk bukan tanpa alasan mencurigai Budin. Budin sering terlihat hilir mudik dekat rumah penduduk yang punya kandang ternak kambing. Penghulu berdoa dalam hatinya kalau memang betul Budin yang mencuri kambing-kambing milik penduduk, semoga Budin dibukakan pintu hatinya, bertaubat, dan minta maaf kepada penduduk.
Budin, seorang pemuda, yang dilaporkan oleh penduduk kepada penghulu, sebelumnya memang jarang terlihat. Ada yang bilang kalau dia sedang pergi berdagang ke pulau di seberang laut. Ada pula yang menyebut kalau dia berburu rusa dan kijang di tengah rimba raya.
Suatu hari ketika sedang menjadi buah bibir penduduk, Budin tiba-tiba muncul di tepi kampung. Tiada seorang pun penduduk yang melihatnya. Budin ingin mencuri kambing milik penghulu. Kambing-kambing milik penghulu dipelihara dalam kandang kambing tak jauh di belakang rumah penghulu. Di belakang kandang kambing itu ada sepokok mempelam yang sangat rimbun. Penghulu menanam beberapa pokok mempelam, pinang, dan kelapa untuk menjadi tanda pembatas tanahnya dengan semak belukar dekat tepi rimba.
Budin sudah bersiap-siap melaksanakan aksinya sebelum subuh. Dia tahu bahwa penghulu sering salat berjamaah di surau bersama-sama dengan penduduk. Dia berniat mencuri kambing sesudah magrib, sebelum penghulu pulang dari surau.
Dia pun memanjat pokok mempelam yang sangat rimbun itu. Kalau sekiranya ketahuan oleh penghulu atau orang lain bahwa ada Budin di atas pokok mempelam, dia telah menyiapkan dalih bahwa dia ingin memetik beberapa helai daun mempelam untuk ulam. Seharian Budin bersembunyi dan mengintai kambing dari atas pokok mempelam.
Tak jauh dari kandang kambing, dekat belakang pokok mempelam, ada seekor harimau besar dari rimba raya sedang mengendap-endap dalam semak belukar mendekati kandang kambing. Dia ingin memangsa kambing-kambing milik penghulu.
Harimau muncul selepas asar. Dia tidak tahu bahwa ada Budin di atas pokok mempelam. Budin pun tidak tahu ada seekor harimau nan besar dalam semak belukar. Matanya sejak berada di atas pokok mempelam asyik tertuju pada kandang kambing dan rumah penghulu. Dia cemas kalau ketahuan sedang bersembunyi di atas pokok mempelam oleh penghulu.
Magrib pun tiba. Senja berona jingga. Rombongan siamang, beruk, dan kera terlihat bergelayut dari satu pokok ke pokok lain di tepi rimba raya. Mereka mungkin sedang dalam perjalanan pulang menuju sarangnya. Serombongan kelelawar terbang ke arah utara. Bunyi binatang-binatang malam dalam rimba raya mulai terdengar riuh berbunyi.
Tiba-tiba hujan deras turun disertai angin kencang. Petir dan guruh silih berganti bagaikan orkestra alam di malam hari. Budin terkejut. Dia bergegas mencari posisi yang aman. Dia berhati-hati memijak dan memegang dahan pokok mempelam agar tidak tergelincir. Di saat yang bersamaan, Harimau pun mulai mendekati kandang kambing dari belakang.
Dalam kandang kambing ada dua ekor kambing. Seekor induk kambing dan anaknya. Di tepi kanan kandang, ada rumput yang disediakan penghulu untuk makanan kambing. Kandang kambingnya terbuat dari betung dan beratapkan daun rumbia. Anak kambing sedang berada di tepi kandang. Induk kambing terlihat mulai gelisah. Dia mencium bau yang datang dari belakang kandang mereka.
Senja buta berganti malam. Hujan makin deras dan angin kencang makin berdesau. Lamat-lamat Harimau mendengar induk kambing memanggil anaknya.
”Nak. Oi nak. Ke sini dekat emak, nak. Jangan di tepi kandang.”  kata induk kambing.
”Ada apa Mak? Mengapa pula emak melarang aku di tepi kandang?” tanya anak kambing kepada induknya.
”Tak usah banyak tanya. Ke sini dekat emak…” jawab induk kambing agak gusar.
Harimau, si raja rimba, termenung mendengar percakapan induk kambing dengan anaknya.
”Jangan-jangan induk kambing tahu kalau aku ada di belakang kandang.” ucap Harimau dalam hatinya.
Dia pun kian mendekat, ingin mencuri dengar percakapan induk kambing dan anaknya. Agak susah mendengar suara di tengah-tengah hujan deras yang disertai bunyi guruh dan desau angin di luar kandang.
”Cepat ke sini, nak.”
”Iya, Mak.”
Anak kambing pun berjalan mendekati induknya. Dia berbisik kepada induknya.
”Mengapa emak melarang aku di tepi kandang?”
”Bahaya nak. Bahaya. Mak takut kau kena tempias.”
”Siapa tempias itu, mak?”
Induk kambing makin gelisah.
”Biasanya Emak takut dengan harimau. Sekarang Mak takut pula dengan tempias.”
Induk kambing hanya diam saja. Dia tidak menjawab pertanyaan anaknya. Setelah melihat ke belakang kandang dan pintu kandang, dia pun berbisik,
”Ssstt…Tak usah nyaring betul. Emak takut ada tempias.”
Anak kambing pun terdiam mendengar jawaban induknya. Dia makin mendekat dan merapat dekat induknya.
Harimau yang sedang mencuri dengar percakapan dalam kedinginan basah kuyup terkena air hujan, makin dalam termenungnya. Hatinya cemas. Jantungnya berdebar kencang. Ada makhluk tak dikenal yang lebih ditakuti induk kambing.
”Aku ini raja rimba. Apa pasal induk kambing lebih takut dengan tempias daripada raja rimba. Siapa pula gerangan tempias sampai membuat kambing tidak takut dengan harimau?”
Terdengar anak kambing bertanya lagi kepada induknya.
”Ada tampak tempias itu, Mak? Kalau dia datang, cepat beritahu aku ya Mak.”
        ”Mak sudah cakap jangan nyaring betul. Bahaya.”
     Harimau pun makin pening mendengar percakapan itu. Gawat kalau tempias datang. Dia bimbang. Kalau terus maju masuk kandang kambing, takut diterkam tempias. Mundur masuk ke rimba raya, gagal makan kambing.
        ”Maju, mundur, maju, mundur, maju atau mundur.” Harimau menimbang-nimbang dalam hatinya.
            ”Pttaaarrrr…pttaaarrr…pttaaarrrr……”
Terdengar petir berbunyi bersahut-sahutan.
            Harimau pun terkejut. Dia sangka tempias yang datang, kiranya guntur.
            Hujan turun makin deras disertai angin kencang sejak senja buta belum reda. Petir berkejaran di langit. Guruh membahana di angkasa. Mega mendung sedang mencurahkan airnya untuk menjadi rezeki bagi seluruh makhluk hidup di bumi.
            Budin yang sudah dari pagi bersembunyi di atas pokok mempelam juga terkejut melihat petir nan berkilat-kilat dan mendengar gemuruh guntur. Dia mengigil kedinginan. Parasnya pucat pasi. Makin pucat wajahnya ketika melihat ada seekor harimau besar dekat belakang kandang kambing. Kedua lututnya terasa bergeletar. Dia ketakutan.
            ”Kkrrrraaaakkkkkk….”
            Budin yang hilang keseimbangan, terpeleset dan terjatuh dari dahan pokok mempelam. Jatuh tepat menimpa di atas punggung Harimau. Dia tidak kehilangan akal. Harimau dipeluknya dengan sangat erat.
            “Alamak….Tempias datang…Tempias datang…Tempias datang,” pekik Harimau terkejut sambil berlari sekencang-kencangnya masuk rimba raya.
Dia tidak melihat apa yang ada dipunggungnya. Terasa ada sesuatu yang sangat besar dan berat sedang berada di punggungnya. Harimau berlari makin kencang. Tidak menghiraukan lagi kiri dan kanannya. Tempias hendak memangsanya. Begitu sangka Harimau.
Tak lama lari kencang dan beberapa kali melompati batang kayu yang tumbang dalam rimba raya, Harimau menabrak sebuah pokok besar. Kepalanya terantuk batang pokok itu. Dia pun pingsan.
Budin pun begitu juga. Dia pingsan akibat kelelahan dan ketakutan.
Induk dan anak kambing juga mendengar ada bunyi dari arah belakang kandang.
Dalam kandang kambing, induk terlihat sangat gembira dan tidak terpancar lagi rona ketakutannya dari wajahnya.
”Bunyi apa itu, Mak? Tempias itu, Mak? Bila tempias itu akan datang, Mak?”
”Dahlah…Tempias sudah datang sejak senja kala, nak.”
”Dimana dia sekarang, Mak? Apa dia sudah pergi, Mak?”
”Dia sedang di luar kandang, nak. Dia bepercikan masuk kandang ditiup angin. Kalau kena tempias, nanti bisa basah.”
”Ooo…Aku kira tempias itu binatang buas yang ingin memangsa kita, Mak.”
”Sebenarnya sejak tadi ada seekor harimau di belakang kandang kita. Emak takut tadi dia dengan mudah memangsamu kalau kau berada dekat tepi kandang. Sekarang harimau itu sudah pergi.”
Keesokan harinya, beberapa orang penduduk yang sedang mencari buah cempedak di tengah rimba terkejut menemukan ada seekor harimau besar tergeletak dekat bawah pokok durian yang sangat besar. Mereka makin terkejut melihat Budin berada di dekat harimau tersebut.
Dua orang penduduk bergegas menuju kampung untuk menemui penghulu kampung, sementara tiga orang lagi tinggal sambil berjaga-jaga kalau Budin dan harimaunya siuman.
Penghulu sangat terkejut mendengar laporan dari penduduknya. Penduduk kampung geger. Penghulu segera memerintahkan sepuluh orang pemuda yang gagah untuk membuat sebuah kandang pikul untuk harimau. Tanpa berlengah-lengah lagi, para pemuda bergegas mencari betung dan rotan untuk bahan membuat kandang pikul sebagaimana yang telah diperintahkan oleh penghulu. Kandang itu selesai dalam waktu yang singkat karena mereka bergotong royong membuatnya.
Penghulu juga memanggil tabib dan pawang harimau untuk segera ikut bersama-sama dengan dirinya dan penduduk lain untuk pergi menjemput Budin di dalam rimba raya. Tiga puluh orang penduduk berangkat menuju rimba raya bersama-sama penghulu .
Dalam perjalanan penduduk mulai bertanya-tanya sesamanya. Apa yang gerangan yang terjadi. Mungkin selama ini harimau yang memangsa ternak kambing milik penduduk. Kalau begitu Budin adalah orang yang berjasa karena telah menangkap harimau yang mencuri ternak kambing di kampung mereka.
Penghulu yang mendengar percakapan penduduknya, memberikan nasehat supaya penduduk tidak usah menduga-duga yang bukan-bukan. Sebaiknya nanti ditanyakan langsung kepada Budin, apa yang sebenarnya telah terjadi.
Setibanya di tempat Budin pingsan, penghulu segera memerintahkan tabib untuk memeriksa dan mengobatinya Budin. Penghulu juga memerintahkan pawang harimau dan pemuda-pemuda untuk mengikat harimau. Harimau lalu dimasukkan ke dalam kandang.
Tiada lama setelah wajah Budin diperciki dengan air oleh tabib. Budin pun siuman. Alangkah terkejutnya hati Budin. Dia ketakutan. Dia takut kena amuk penduduk. Mereka telah menangkapnya karena mencuri kambing, namun dia tercengang sebab ada beberapa penduduk justru menepuk-nepuk bahunya dan tersenyum.
Dia lihat harimau besar sudah berada dalam kandang. Dia perhatikan ada penghulu, tabib, pawang harimau, dan pemuda-pemuda di sekelilingnya
Budin tertunduk malu. Matanya menatap ke tanah. Tidak berani dirinya menatap penghulu.
”Ini Budin. Minumlah air dan madu ini.” kata penghulu.
”A..aa..a..aa..ii..iya..Pak penghulu..Terima kasih,” ucap Budin terbata-bata.
Air dan madu yang diberikan oleh penghulu segera diminumnya. Terasa segar kembali badannya.
”Budin…Supaya penduduk tidak menduga-duga yang bukan-bukan. Cobalah kau ceritakan apa gerangan yang sebenarnya terjadi hingga kau ditemukan oleh penduduk kampung sedang tergeletak tidak siuman di dekat harimau besar ini?” tanya penghulu kepadanya.
Sungguh risau hati Budin mendengar pertanyaan penghulu. Dia lihat orang-orang sekitarnya. Semuanya tersenyum. Tidak ada yang menampakkan wajah garang. Budin pun meneteskan air mata. Dia pun mengisahkan peristiwa yang dialaminya.
Suatu hari Budin menemukan ada seekor kambing berkeliaran di jalan setapak dekat tepi rimba raya. Dia sangka itu kambing hutan. Dia tangkap kambing tersebut, lantas dijualnya ke kampung di pulau seberang laut. Kemudian Budin pun ketagihan ingin berdagang kambing. Oleh karena Budin tidak punya ternak kambing, kambing-kambing milik penduduk yang dicurinya.
Budin sambil terisak-isak, mengakhiri kisahnya dengan meminta maaf kepada penghulu dan penduduk karena telah beberapa kali mencuri ternak kambing milik penduduk. Budin mengakui kesalahannya mencuri ternak kambing milik penduduk.
Beberapa orang penduduk berubahnya parasnya. Pemuda-pemuda menjadi geram. Mereka ingin meninju Budin. Ternyata Budinlah yang mencuri ternak kambing milik penduduk.
Penghulu sudah mengetahui gelagat bahwa pemuda-pemuda akan mengahajar Budin. Beliau segera melihat pemuda-pemuda sambil menggelengkan-gelengkan kepala dan mengembangkan lebar-lebar kedua telapak tangannya. Tinju pun tidak jadi melayang. Pemuda-pemuda sangat segan dengan penghulu.
Penghulu menenangkan dan menyabarkan penduduk agar tidak main hakim sendiri. Penghulu menghela napas panjang dan tersenyum. Beliau sudah punya penyelesaiannya. Beliau menyampaikan kepada penduduk bahwa masalah ini akan dimusyawarahkan dengan tetua-tetua kampung. Penghulu mesti menegakkan keadilan yang seadil-adilnya demi mengembalikan kerukunan dan ketenteraman penduduk.
Penghulu kampung meminta pemuda-pemuda untuk memikul kandang harimau untuk dibawa menuju kampung. Penghulu juga mengajak Budin bersama-sama penduduk  kembali ke kampung.
Setibanya di kampung, ramai orang sedang berkerumun di depan rumah penghulu. Penghulu memerintahkan pemuda-pemuda meletakkan kandang harimau yang berisi harimau di depan rumahnya. Budin bersama tabib duduk di beranda.
Penghulu mengajak tetua-tetua kampung yang sudah datang untuk bermusyawarah di dalam rumahnya. Tak lama kemudian, penghulu bersama-sama tetua-tetua kampung keluar dari rumah.
Beliau meminta penduduk yang hadir untuk tenang karena hendak menyampaikan hasil musyawarah kepada penduduk yang sedang geger karena ada penduduk yang kehilangan ternak kambing dan ditemukannya Budin tidak sadarkan diri dekat seekor harimau besar oleh penduduk.
”Wahai segenap penduduk kampung nan budiman, setelah mendengarkan keterangan dari penduduk yang kehilangan kambing, penduduk yang menemukan Budin dan harimau di dalam rimba raya, cerita dari Budin dan permintaan maaf Budin kepada penduduk, serta saran-saran dari tetua-tetua yang sama-sama kita hormati…Saya selaku penghulu yang diamanahkan untuk mengurus kerukunan dan ketenteraman kampung ini, memutuskan bahwa Budin akan diberi beberapa ekor ternak kambing untuk dipeliharanya. Nanti setelah ternak kambing berkembang biak, Budin mesti mengganti kambing-kambing yang dicurinya kepada pemilik kambing. Budin juga diminta oleh tetua-tetua untuk membersihkan surau dan pekarangannya setiap hari. Adapun harimau yang dalam kandang, akan segera dilepas kembali di tengah rimba raya setelah siuman dan pulih. Tetua-tetua juga menyarankan agar diselenggarakan kenduri kampung pada esok hari. Mereka menyumbangkan beberapa ekor kambing dan beberapa karung beras untuk dimasak menjadi hidangan pada kenduri kampung.”
Penduduk menyetujui keputusan yang telah ditetapkan penghulu kampung. Budin menangis. Dia diminta oleh penghulu untuk meminta maaf kepada tetua-tetua kampung dan juga penduduk lainnya. Penduduk yang ternak kambingnya dicuri oleh Budin juga sudah memaafkan Budin.
Menurut tetua-tetua, sebenarnya Budin adalah pemuda yang baik, namun entah mengapa dia sampai mengambil jalan pintas untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Para tetua melalui penghulu menasehati agar Budin segera bertaubat minta ampunan kepada Allah dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Budin patut bersyukur karena tidak diterkam harimau. Begitu juga dengan penduduk yang mesti bersyukur karena hikmah dari kejadian tersebut membuat penduduk sudah mengetahui siapa yang mencuri ternak kambing dan adanya harimau mulai masuk kampung.
Hari kenduri kampung pun tiba. Penduduk saling bahu-membahu menyiapkan beraneka jenis hidangan untuk disantap oleh penduduk bersama-sama dengan tetua-tetua, penghulu, dan juga Budin. Tua dan muda, besar dan kecil, perempuan dan laki-laki sama-sama menyingsingkan lengan baju supaya kenduri kampung terselenggara dengan baik. Pemuda-pemuda bergotong royong membersihkan dan memotong-motong daging kambing yang telah disembelih oleh tetua kampung Budak-budak juga dengan riang gembira membantu abang-abang mereka yang sedang mengerat daging kambing.
Ibu-ibu dan gadis-gadis bersama-sama menyiapkan bumbu untuk gulai kambing dan rebung. Mereka juga menanak nasi dan menjerang air untuk diminum. Menjelang asar, segala hidangan untuk kenduri kampung sudah siap dimasak dan terhidang dalam mangkuk dan piring yang tersusun rapi di atas dulang.
Para laki-laki dewasa dan pemuda-pemuda juga sudah bersiap-siap untuk salat asar berjamah di surau.Setelah selesai melaksanakan salat asar berjamaah di surau, penduduk bersama-sama dengan penghulu dan tetua-tetua berkumpul di dalam surau. Sebagian lagi ada yang duduk beralaskan tikar pandan di luar surau.
Budin masih agak malu-malu duduk bersama-sama penduduk, penghulu, dan tetua-tetua ketika puncak kenduri tiba. Dia melihat didepannya ada aneka jenis masakan. Ada gulai kambing dan rebung, sate kambing, sup kambing, ikan goreng, ikan panggang, ulam, anyang, gulai pucuk ubi, sambal belacan, dan gulai kepala kambing yang besar.
Penghulu menyilakan tetua-tetua kampung untuk menyampaikan beberapa petuah kepada penduduk. Usai tetua-tetua member petuah-petuah mereka. Penghulu mulai memimpin zikir. Segenap penduduk, termasuk Budin, berzikir dengan khidmat. Selesai berzikir, penghulu memimpin pembacaan doa selamat dan doa tolak bala. Setelah berdoa, penghulu pun menyilakan penduduk yang hadir bersama-sama menyantap pelbagai hidangan yang telah dimasak untuk kenduri kampung.
Harimau besar yang dalam kandang pun sudah siuman dan berangsur pulih. Penghulu telah memerintahkan pemuda-pemuda untuk melepaskan harimau tersebut di tengah rimba raya yang ada populasi kambing hutan dan babinya. Hal itu bertujuan agar harimau tidak kembali masuk kampung untuk memangsa ternak kambing milik penduduk.
Beberapa hari setelah kenduri kampung diselenggarakan, Budin yang telah dimaafkan oleh penduduk dan diberi kambing oleh penghulu, mulai beternak kambing. Dia juga rajin membersihkan surau dan pekarangannya.
Penghulu mengimbau penduduk supaya tidak lupa untuk mengikat kambing-kambingnya kalau sedang di lepas ke luar kandang. Tidak boleh ada lagi kambing-kambing yang berkeliaran di kampung tanpa diketahui oleh pemiliknya. Penduduk pun mematuhi arahan dari penghulu.
Kehidupan penduduk kampung tersebut kembali rukun dan tenteram setelah sebelumnya geger akibat ternak kambing yang hilang, Budin ditemukan pingsan dekat seekor harimau besar dalam rimba raya.
Konon Budin berhasil menjadi peternak dan pedagang kambing. Kambing-kambing yang dipiaranya berkembang biak. Dia juga sudah mengganti kambing-kambing yang pernah dicurinya. Setiap ada kenduri kampung diselenggarakan oleh penduduk, Budin selalu menyumbangkan beberapa ekor kambing jantan yang besar. Penghulu, tetua-tetua, dan penduduk kampung sangat gembira mengetahui perubahan dan kemajuan yang dicapai oleh Budin.
Mereka selalu berdoa agar tidak ada lagi penduduk kampung yang mengambil sesuatu yang bukan hak miliknya dan tanpa izin dari pemiliknya. Mereka juga berdoa agar supaya kampung mereka dijauhkan dari segala bentuk bahaya dan malapetaka oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Harimau yang sudah dilepas di tengah rimba raya oleh pemuda-pemuda, tidak mau lagi masuk kampung. Dia takut diterkam oleh tempias, lagipula penduduk kampung sudah berjasa menyelamatkannya dari tempias dan melepaskannya kembali ke rimba raya.

31 Juli 2015

(Cerita rakyat ini ditulis dan dikembangkan oleh Ahlul Hukmi berdasarkan sastra tutur Tempias versi Muslim Arofat yang dituturkannya langsung kepada penulis.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar